Senin, 14 Juli 2008

Peta Gerakan Islam Radikal

Radikalisme belakangan ini menjadi gejala umum di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Gejala radikalisme di dunia Islam bukan fenomena yang datang tiba-tiba. Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial-budaya yang oleh pendukung gerakan Islam radikal dianggap sangat memojokkan umat Islam.

Secara politik mereka merasa bukan saja tidak diuntungkan oleh sistem, tapi juga merasa diperlakukan tidak adil. Secara ekonomi pun mereka merasa tidak lebih baik. Kelompok Islam radikal menganggap kepentingan ekonomi umat Islam tidak dilindungi, bahkan diabaikan dan dipinggirkan. Sementara itu, dalam konteks sosial budaya, umat Islam semakin kehilangan orientasi dengan makin kuatnya serbuan budaya Barat. Ikatan-ikatan sosial yang sebelumnya cukup kuat menyatukan kelompok-kelompok Muslim kemudian tercerai-berai akibat jebolnya pertahanan budaya yang dimiliki umat Islam.

Dalam suasana seperti itulah Islam radikal mencoba melakukan perlawanan. Perlawanan itu muncul dalam bentuk melawan kembali kelompok yang mengancam keberadaan mereka atau identitas yang menjadi taruhan hidup. Mereka berjuang untuk menegakkan cita-cita yang mencakup persoalan hidup secara umum, seperti keluarga atau institusi sosial lain. Mereka berjuang dengan kerangka nilai atau identitas tertentu yang diambil dari warisan masa lalu maupun konstruksi baru. Untuk itu mereka juga berjuang melawan musuh-musuh tertentu yang muncul dalam bentuk komunitas atau tata sosial-keagamaan yang dipandang menyimpang. Terakhir mereka juga mendaku bahwa perjuangan mereka atas nama Tuhan atau ide-ide lain.

Dalam kasus Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam buku berjudul asli Joining the Caravan?: The Middle East, Islamism and Indonesia, hasil penelitian dua akademisi Australia ini, Greg Fealy dan Anthony Bubalo, pengaruh keagamaan dan politik dari Timur Tengah ke Indonesia bukan hal baru dalam sejarah. Menurut mereka, semenjak Islam masuk ke Nusantara, hubungan masyarakat Indonesia dengan Timur Tengah sangat kental. Transmisi ini dimungkinkan karena posisi Timur Tengah sebagai sentrum yang selalu menjadi rujukan umat Islam. Negara-negara yang memiliki kota-kota suci dan pusat ilmu pengetahuan selalu dikunjungi orang Indonesia, baik untuk berhaji, ziarah, maupun belajar. Dari aktivitas ini kemudian muncul berbagai bentuk jaringan, baik jaringan keulamaan, jaringan gerakan dakwah, maupun jaringan gerakan politik.

Di samping itu, konteks politik di Indonesia juga menjadi alasan lain kemunculan Islam radikal. Ada kesamaan antara gerakan Islam radikal di Indonesia dan Timur Tengah. Sebagaimana ditunjukkan buku ini, gerakan Islam radikal di Timur Tengah bisa diklasifikasi dalam tiga kategori. Pertama, gerakan itu terjadi di negara-negara yang pemerintahannya otoriter seperti di Irak dan Suriyah. Al-Mujahidin di Irak menentang kediktatoran Saddam Hussein, demikian halnya al-Ikhwan di Suriyah yang menentang rezim Hafidh al-Asad.

Kedua, hal yang sama terjadi di wilayah yang dijajah dan diduduki kekuatan asing, seperti di Palestina. Fundamentalisme di Palestina yang bahkan termanifestasi dalam bentuk ekstrem melalui jalan kekerasan merupakan reaksi terhadap kekerasan politik yang dilakukan Israel.

Ketiga, gerakan radikal lahir di negara yang kebijakan pemerintahannya dipandang terlampau memihak ke Barat seperti Mesir dan Iran prarevolusi. Munculnya Ikhwanul Muslimin di Mesir tak lepas dari sentimen massa menentang kebijakan pemerintah yang dinilai pro-Barat dan cenderung memarjinalkan peran kaum agamawan.

Dari tiga kategori di atas, faktor pertama dan ketiga terjadi di Indonesia, baik sebelum maupun setelah Orde Baru. Sejak awal kelahirannya, sikap Orde Baru terhadap umat Islam mengikuti pola kebijakan yang diterapkan Belanda: bersikap toleran dan bersahabat terhadap Islam sebagai kelompok sosial dan keagamaan. Tapi, sikap ini segera berubah menjadi keras dan tegas ketika Islam mulai memperlihatkan tanda-tanda sebagai kekuatan politik yang menentang kehendak penguasa.

Meski kemunculan gerakan radikal Islam terfragmentasi dalam beragam organisasi, ada sejumlah benang merah yang bisa ditarik dari berbagai kelompok tersebut sekaligus menjadi faktor pembeda dari Muslim mainstream di Indonesia. Beberapa benang merah itu antara lain adalah pemahaman yang sangat literal terhadap ajaran Islam, keyakinan yang sangat kuat bahwa Islam adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan berbagai krisis di negeri ini, perjuangan yang tak kenal lelah menegakkan syariat Islam, resistensi terhadap kelompok yang berbeda pemahaman dan keyakinan, serta penolakan dan kebencian yang nyaris tanpa cadangan terhadap segala sesuatu yang berbau Barat.

Kemudian orang pun bertanya-tanya: mengapa di tengah arus utama Islam yang moderat di Indonesia (utamanya NU dan Muhammadiyah), muncul sekelompok Muslim sebagai teroris? Menurut buku ini, penjelasannya tentu melibatkan berbagai faktor dengan banyak dimensi yang kompleks. Perubahan besar dalam dunia Islam yang sering tidak disadari oleh masyarakat internasional adalah, sebagian besar masyarakat Muslim dunia saat ini tidak lagi terkonsentrasi di Timur Tengah (hlm. 84).

Buku ini dimaksudkan sebagai kontribusi intelektual untuk memperkaya perdebatan lebih luas tentang peran yang dimainkan kelompok Islamis di kancah politik internasional kontemporer. Fokus kajiannya dibingkai dengan beberapa persepsi dan mispersepsi, terutama menyangkut kecenderungan yang melihat Islamisme saat ini sebagai gerakan ideologi monolitik yang menyebar dari Timur Tengah sebagai pusat ke negara-negara Muslim di seluruh dunia.

Analisis buku ini tertuju pada sejumlah perubahan besar yang terjadi, baik di dunia Islam maupun persepsi Barat atas dunia Islam. Perubahan nyata telah menjelma sebagai dampak serangan teroris 11 September 2001, di mana Al-Qaeda semakin dipandang sebagai sebuah ideologi ketimbang organisasi. Telaah atas sejauh mana ideologi atau pandangan dunia itu telah menyebar, serta menjelaskan bagaimana kecenderungan dari ancaman teroris di masa depan.

Buku ini berujung pada kesimpulan bahwa dari semua bentuk Islamisme kontemporer, pengaruh Ikhwanul Muslimin di Indonesia memiliki sejarah terpanjang. Menurut penulis, meski berhasil mengungkap pengaruh atau dampak gagasan-gagasan Islamis dan neofundamentalis dari Timur Tengah di Indonesia, hampir semuanya mengalami proses mediasi atau modifikasi. Gagasan gradualis Hasan Al-Banna, misalnya, lebih banyak digunakan dibandingkan gagasan revolusioner Sayyid Quthb dan para penerus radikalnya (hlm. 109).

Tak ketinggalan, terkait dengan pengaruh tersebut, buku setebal 202 halaman ini juga mengupas fenomena keberhasilan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di pentas politik Indonesia dan Jamaah Islamiyah yang sering dikaitkan dengan serangkaian aksi teror.

Akhirnya, di tengah arus besar kecenderungan untuk melukiskan Islamisme sebagai wajah tunggal berdimensi transnasional, buku ini merobohkan pencitraan na�f seperti itu dengan menunjukkan keragaman dan dimensi lokal dari peresentasi Islamisme dalam ruang sejarah. (*)

Diambil dari Jawapos, 15o708. judul Buku Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia