Sabtu, 14 Juni 2008

ISRA' SOSIAL & MI'RAJ RITUAL

ISRA’ SOSIAL DAN MI’RAJ RITUAL
By
M.Agus Salim
Setiap tanggal 27 Rajab, umat islam memperingati isra’ miraj nabi Muhammad SAW. Secara etimologis, isra’ berarti perjalanan pada malam hari. Jenis kalimat ini termasuk dalam katagori muta’ addi atau transitif, maka konotasinya adalah inisiatif Allah untuk” menjalankan” nabi pada malam hari. Adapun mi’raj berarti tempat naik.
Secara histories isra’ mi’raj adalah perjalanan suci nabi sebagai jamuan istimewa dari Allah atas musibah yang menimpa nabi pasca kematian orang yang sangat di cintainya, paman dan istrinya.
Jika di tarik garis lurus dari peristiwa fenomental ini,beberapa makna terkandung sebagai asupan sublemen hikmah bagi stamina spiritual kita ke depan, baik tataran moral maupun social akan di temukan.
Sebagaimana firman Allah “ kepada Allah naik semua kalimat yang baik dan amal soleh yang akan menganGkatnya”. (QS 35: 10) hanya kebaikanlah yang akan diterima oleh tuhan dan akan kekal karena di topang dan diangkat oleh amal shaleh atau karya nyata.
Relevansinya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, para pemimpin baik formal maupun informal, hendaknya melakukan isra’ dalam bentuk sederhana berupa kontemplasi dan perenungan pada malam hari atas kondisi real rakyat yang menjadi tanggung jawab mereka. Ini juga bisa dalam bentuk inspeksi mendadak seperti yang dilakukan oleh umar bin khattab untuk mendengar secara langsung apa yang menjadi kebutuhan dan keluhan rakyatnya. Ini adalah bentuk tanggung jawab moral sekaligus social atas konsekwensi kepemimpinannya.
Bagi nabi isra’ adalah membuka mata dan cakrawala betapa luas dan besar ciptaan serta amanat yang diberikan tuhan sebagai konsekwensi kedudukannya sebagai nabi terakhir,penutup dan penyempurna risalah islam. Sebuah perjalanan agung yang bernuansa religi dan cultural karena memuat tamsil dan replika kehidupan umat ke daepan yang harus diantisipasi dan di program secara baik.
Adapun mi’raj lebih bertendensi ritual. Ada semacam nuansa spiritual yang layak di capai para pencari hikmah kehidupan. Ada tahapan untuk mencapai puncak sidratul muntaha atau lotus kehidupan yang merupakan bentuk pengejawantahan darisklus alam dan proses aplikasi mata rantai tiga elemen agama yaitu islam, iman dan ikhsan.
Saat bertemu Allah di tempat tertinggi, nabi Muhammad SAWberkomonikasi langsung tanpa hijab dan diakhiri dengan negosiasi bagi pelaksanaan ritual termudah bagi manusia yaitu sholat. Kewajiban menjalankan perintah dari tuhan bagi umat islam ini akan mendapat balasan setimpal berupa pertemuan langsung dengan-Nya di surga nanti. Oleh karena itu, kewajiban itu baersifat permanent, selama hidup, shalat wajib dilaksanakan.(QS 15:99)
Selama lebih dari 14 abad, terutama pada masa sekarang, nilai-nilai islam lebih terasa sebagi simfoni klasik yang enggan dijalankan pemeluknya. Aplikasi dan manifestasi ajaran islam kuang terealisasi dengan baik. Padahal inilah “harta karun” yang nilai intransitiknya tidak terhingga. Islam bukan sekedar pendapat, konsepsi, dan idealisme,tetapi juga amal shaleh dan praktek lapangan.
Yang diperlukan ke depan adalah adanya kesinambungan dan keseimbangan antara langit dan bumi. Jika konsep dunia- akherat(isra’ mi’raj) tidak ditakar dan di racik dengan baik , yang terjadi adalah krisis multidimensi di seluruh tatanan kehidupan berbangsa dan beragama seperti yamg dialami bangsa Indonesia saat ini. Ada kelompok yang terlalau ke “kanan” sehingga kurang berpijak pada realita social-terlalu mi’raj. Di sisi lain ada kelompok yang terlalu isra’ ke “kiri”. Akibatnya, timbul kesenjangan yang sulit dipertemukan. Padahal, jauh sebelum manusia menunjukkan identitas masing-masing dengan label dan istilah yang kemudian justru menjebak mereka, Allah telah memberikan cap kepada umat islam sebagai ummatan wasathan alias komonitas tengah ( QS 2: 143 )
Jika kita renungi, akan disadari betapa entitas tengah sangat diperlakukan bagi terciptanya harmoni kehidupan penuh dengan nilai-nilai keadilan dan keseimbangan, yang tidak kebarat-baratan, tidak ketimur-timuran, tidak condong kekanan dan tidak pula ke kiri, serta tegak ditengah – tengah sebagai entitas yang tidak berat sebelah. Nilai-nilai ini mengilhami Harold bloom,seorang peneliti kitab suci dari kalangan yahudi, untuk menulis sebuah buku yang mengupas tentang kekaguman dia terhadap Al-qur’an yang berisi keseimabngan antara dunia dan akherat. Sebelumnya dia meneliti berbagai kitab suci dari berbagai agama dan aliran. Bloom terperangah ketika membaca ayat 35 surat an-Nur yang memuat untaian kalimat universal penuh makna, nuur’ala nuur (cahaya diatas cahaya) dan Allah akan memberikan cahaya-Nya kepada siapapunyang Dia kehendaki. Cahaya tersbut dinyalakan dari pohon yang tidak tumbuh dari barat maupun timur( la syarqiyah wala gharbiyyah ) bloom meyakini bahwa ajran islam memang sarat dengan muatan nilai keadilan dan keseimbangan.
Semoga dari isra’ mi’raj kita bisa memetik hikmah dan makna yang terkandung di dalamnya sehingga kita bisa menempat segala sesuatu pada tempat yang semestinya serta mempersepsikan suatu masalah sesuai dengan porsi dan proporsi sebenarnya agar tercipta entitas tengah yang benar-benar menjadi rahamatallil’alamien.

Tidak ada komentar: